Ketika melaksanakan sholat jum’at, sering kali
kita menemukan berbagai permasalahan yang mungkin itu menimbulkan pertanyaan
didalam benak kita. Bahkan mungkin pertanyaan itu tidak terjawab oleh kita sendiri.
Misalnya pertanyaan mengenai hukum tidur ketika khutbah sedang berlangsung,
atau hukum mengenai melaksanakan sholat sunnah ketika khatib telah naik diatas
mimbar. Nah, kali ini saya akan sedikit berbagi mengenai hukum melaksanakan
sholat sunnah ketika khatib sudah diatas mimbar.
Sebelumnya, saya ingin menjelaskan bahwasanya
tulisan ini berangkat dari keresahan saya tiap kali melaksanakan sholat jum’at.
Seringkali saya mendapati beberapa orang atau kadang-kadang saya sendiri datang
terlambat ketika akan melaksanakan sholat jum’at. Keterlambatan ini terjadi
disebabkan oleh berbagai macam persoalan ‘DUNIAWI’ yang tak kunjung ada
habisnya. Apabila keterlambatan itu sebatas terlambat datang hingga adzan
pertama dikumandangkan, mungkin masih bisa di tolerir, namun keterlambatan ini
terjadi hingga memasuki waktu dimana khatib sudah bedara diatas mimbar. Apabila
ini terjadi, jelas sudah tidak bisa ada toleransi lagi bagi mereka yang
terlambat hingga sejauh itu.
إِذَا كَانَ يَوْمُ اْلجُمعَةِ كَانً عَلَى كُلِّ
بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةِ يَكْتُبُوْنَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ،
فًإِ ذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طوَوُا الصُّحُفَ وجَاؤُوْا يَسْتَمِعُوْنً الذِّكْرَ
Artinya
“Apabila hari Jumat tiba
maka akan ada para malaikat di setiap pintu-pintu masjid. Mereka akan mencatat
setiap orang yang datang dari yang pertama, lalu berikutnya dan berikutnya.
Hingga ketika Imam telah naik di mimbarnya para malaikat pun menutup
catatan-catatannya, lalu mereka ikut mendengarkan khutbah.” (HR. Bukhari 3211)
Hadis ini memberikan motivasi untuk hadir lebih awal ketika
jumatan. Semakin awal, semakin bagus. Dan diupayakan agar jangan sampai telat,
datang setelah imam naik mimbar. Karena anda tidak mendapatkan catatan khusus
dari malaikat. Dalam Al-qur’an telah ditegaskan kepada kita sebagai umat manusia untuk
segera meninggalkan urusan duniawi apabila telah dipanggil untuk melaksanakan
sholat jum’at. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah/62:9)
Dari
dalil diatas, dapat disimpulkan bahwasanya Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan
kepada umat manusia, apabila telah memasuki waktu sholat jum’at, hendaknya
bergegas untuk memenuhi panggilan tersebut dan meninggalkan segala sesuatu
aktifitas yang berkaitan dengan hal duniawi. Namun kebanyakan dari kita,
seringkali mengabaikan perintah tersebut. Kita masih asik melakukan hal-hal
yang semestinya tidak dilakukan dalam rangka menyambut datangnya sayyidul
ayyaam.
Berkaitan dengan
hukum sholat sunnah ketika khatib telah berada diatas mimbar untuk menyampaikan
khutbahnya, kita qiyashkan hal ini dengan salah satu kaedah ushul
fiqh yang disampaikan oleh Imam Suyuthi:
الفَرْضُ
أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
“Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.” (Al-Asybah
wa An-Nazhair, hlm. 325-327)
Sholat jum’at merupakan ibadah wajib
pengganti sholat zhuhur, dimana dua raka’at pertama sholat zuhur digantikan
dengan khutbah sedangkan dua raka’at terakhir diganti dengan dua raka’at sholat
juma’at. Hukum sholat juma’at sama dengan ibadah sholat wajib yang lain. Wajib
berarti berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang meninggalkan,
terkecuali berhalangan dengan segala alasan-alasan syar’i yang diperbolehkan. Sedangkan
sholat rawatib dan tahiyyatul masjid dan sejenisnya, merupakan
ibadah sunnah. Sunnah memiliki arti berpahala bagi yang melaksanakan dan tidak
berdosa bagi yang meninggalkan
Apabila kaidah
dari Imam Suyuthi diatas kita kaitkan dengan hukum sholat sunnah ketika khotib
sudah naik keatas mimbar, maka lebih utama untuk mendengarkan khutbah daripada
melaksanakan sholat sunnah atau ibadah sunnah lain. Hal ini disebabkan oleh
hukum mendengarkan khutbah ialah wajib karena khutbah merupakan pengganti dari
dua raka’at sholat zhuhur, sedangkan ibadah sunnah lain tidak berubah hukumnya,
tetap sunnah. Apabila kita masih memaksakan untuk melaksanakan sholat sunnah
ketika khutbah sedang berlangsung, maka kita tidak mendapatkan pahala dari
sholat jum’at. Atau dengan kata lain kita telah menghilangkan pahala
mendengarkan khutbah dengan melaksanakan sholat sunnah. Karena mendengarkan
khutbah ialah wajib dan itu lebih utama daripada melaksanakan ibadah sunnah,
yakni sholat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid dan bahkan ibadah sunnah
lainnya.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا
تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ،
فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى
يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى
بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ.
Artinya: “Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku,
maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan
amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk
mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu
kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku
akan melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 2506)
Imam Al-Haramain berkata bahwa para
ulama berkata, Allah mengkhususkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan mewajibkan sesuatu menunjukkan besarnya pahalanya. Pahala amalan wajib
tentu lebih besar daripada pahala amalan sunnah. (Al-Asybah wa An-Nazhair,
hlm. 324)
Namun demikian,
ada beberapa hal yang sifatnya sunnah namun diperbolehkan untuk diutamakan
daripada ibadah wajib. insyaAllah akan kita bahas bersama-sama ditulisan
selanjutnya.
Wallahu a’lam
bishshowab.
Tabarakallh
BalasHapusmasyaAllah akhi
BalasHapus