Langsung ke konten utama

MEDIA SOSIAL DAN TEKANAN VISUAL

Alkisah seorang perempuan muda yang di dunia nyata sulit diajak bicara. Serba tidak tahu atau kasarnya, aduh, maaf ya, kurang cerdas. Beruntungnya ia jago dandan. Dalam satu tahun karier-nya di Instagram sebagai Instagrammers, followers-nya langsung mencapai 50ribu. Karena apa?

Karena ia sesuai dengan definisi ideal perempuan cantik. Dagu lancip, kulit putih bersih, senyum manis menggoda. Orang tidak peduli ia sering typo atau salah menggunakan istilah bahasa asing di bagian caption fotonya. Yang penting enak dilihat, maka followers berbaris-baris.

Satu lagi perempuan yang tidak terlalu cantik, ia juga suka dandan. Ia bahkan sudah bertahun-tahun sharing tips dan trik make up melalui blog pribadinya, atau beauty blogger istilah kerennya. Mem-posting jenis foto yang sama dengan si perempuan pertama, sudah dua tahun followers-nya belum juga mencapai 10ribu. Lima ribu pun sepertiganya online shop. Hiks.

Percaya tidak percaya, kisah itu nyata. Instagram membuat banyak orang jadi merasa punya tekanan visual alias secara visual jadi tertekan! Yaelah, kok mbulet gini sih.

Lha bagaimana lagi, jangankan penampilan jasmani, lha wong makanan pun sebisa mungkin harus dihias agar Instagram worthy. Bubur bayi yang benyek hambar jadi tidak membosankan dengan taplak meja warna-warni, sendok lucu, dan buah-buahan pun dibentuk sedemikian rupa agar menyerupai bentuk binatang.

Urusan travelling pun tak jauh berbeda, yang dipikirkan pertama adalah “spot mana ya yang bagus untuk difoto?” Jepret sana jepret sini, yang penting ada langit biru! Tak lupa bawa buku ke pantai padahal membaca saja malas, karena buku di pantai itu bukan untuk dibaca tapi untuk jadi properti. Untuk apa? Ya untuk Instagram lah! Untuk caption ‘vitamin sea’ dong, apalagi?

Belum lagi tren #minimalismscene. Kenapa orang-orang itu sering menemukan tembok lucu?

Tagar yang kemudian bikin kecewa, sebab setelah melihat sekeliling diri sendiri, kantor, rumah, kostan, hampir semua temboknya kotor, lusuh, dan tidak enak dipandang? Di mana orang temukan tembok lucu berkelir warna-warni untuk background foto #ootd? Wah, pasti ada yang salah dengan lingkungan! Artinya butuh liburan untuk mencari tembok objek foto! Kota tua bisa sepertinya ya?

Kafe-kafe pun tidak mau ketinggalan. Mereka menghias interior dengan segala pernak-pernik yang layak difoto dan masuk Instagram. Dengan dinding penuh kutipan soal makanan dan sofa warna-warni. Sialnya, kafe-kafe itu kenapa seringnya remang-remang? Apa yang kau harapkan dari interior yang lucu kalau ketika difoto orang butuh lighting tambahan. Tolonglah, kami tidak masalah makan terang benderang seperti lampu minimarket 24 jam. Hentikan pemakaian lampu kuning di kafe karena itu membuat foto jadi gelap. Editnya sulit! Butuh aplikasi berbayar! Huft.

Begitu pula rumah. Semua orang jadi tertekan ingin ikut pula menghias rumah. Kamar yang sebelumnya adalah area paling pribadi kemudian dipaksa agar bisa lebih sharing-able. Fungsi rumah pun bergeser, bukan lagi hanya tempat tinggal, tapi tempat untuk menilai kepribadian orang lain. Dari rumah serba hitam putih sampai rumah warna-warni. Rumah yang bagus memberi inspirasi, yang kurang bagus jadi dikasihani, rumah seperti itu kok difoto. Tak perlu lagi menunggu wawancara majalah desain interior, cukup bermodalkan satu akun dengan tagar berbaris tentang hunian nyaman.

Dan yang paling memuakkan, uang tabungan pun mendadak punya sasaran baru: membeli kamera. Dengan lensa fix yang membuat objek belakang jadi tidak fokus. Semakin ‘bokeh’ alias semakin blur itu kau buat background, semacam jadi jaminan semakin banyak likes yang akan diterima. Kameranya harus punya wifi agar setiap selesai jepret, bisa langsung masuk ke hp dan terbagikan pada dunia.

Kamera dengan lensa fix membantu ini semua, tinggal simpan objek di teras pagi-pagi dengan background taman depan rumah, voila! Minimal pasti dapat bokeh lah! Bokeh is lyfe!

Ya, karena tanpa foto yang bagus, objek bagus pun belum tentu jadi menarik. Contoh saja foto makanan, dengan angle yang tepat makanan yang seharusnya membuat ngiler jadi biasa saja. Make up yang packagingnya menarik jadi tak bikin ingin membeli karena meja putih terganggu noise. Ilustrasi yang seharusnya bagus jadi biasa saja karena diambil dalam kondisi ruangan gelap. Makanya editing pun harus jago, rajin lah tanya para selebgram “editnya pake apps apa kak?”.

Demi likes. Demi followers yang lebih banyak. Demi pujian dari orang lain yang bahkan kadang belum pernah bertatap muka.

Saya pernah berusaha memetakan (ah sebenarnya berpikir doang sih, tidak sampai bikin peta), orang yang seperti apa yang demikian serius di Instagram? Ya maksudnya yang sampai memikirkan grid, memikirkan color scheme, memikirkan setelah upload foto ini akan upload foto apa.

Apa yang di dunia nyata juga senang bersolek? Tidak juga, banyak perempuan yang justru malah hobi foto masakan di Instagram. Masakan yang dulu cukup menuai pujian suami kini harus juga difoto dulu sebelum dimakan. Yang ini jujur membuat iri karena masak pun saya tak pernah.

Apa yang kurang pengakuan dari lingkungan? Rasanya kok tidak juga, banyak yang di kantor bahagia dan tak kurang apresiasi, tapi tetap terobsesi dengan feed Instagram. Apa yang kesepian? Kok ya tidak juga ya, banyak yang fotonya sepertinya tidak kesepian. Cafe-hopping bersama teman-teman atau liburan bersama keluarga.

Instagram seperti jalan keluar, dunia yang berbeda. Manusia kan selalu haus pujian.

Bagaimana nasib orang-orang yang kurang cantik? Yang jarang travelling? Yang di rumah terus seharian? Apa tidak boleh main Instagram? Yang jarang ke kafe? Boleh saja, tapi jangan harapkan followers cepat bertambah atau likes mengalir setiap kali. Pengakuan semu tapi membahagiakan bukan?

Terdengar menyedihkan ya. Sebuah media sosial menjadi patokan kehidupan.

Lihatlah, seberapa banyak dari kita yang kemudian terinspirasi liburan ke suatu tempat sesimpel alasan “karena liat dia upload di Instagram bagus deh”. Belum lagi urusan online shop, seberapa banyak dari kita lebih percaya pada online shop yang fotonya tampak profesional dibanding online shop yang foto seadanya?

Tapi kan hidup tidak boleh melulu negatif. Biarlah orang lain haus likes dan haus pujian. Kita harus tetap positif dan percaya bahwa dunia tidak seseram penghamba likes di Instagram. Karena sebetulnya banyak juga yang tidak peduli. Tidak peduli followers sedikit, tidak peduli foto noisy, tidak peduli grid feed yang rapi. Yang penting upload sajalah, Instagram gue ya suka-suka gue.

Ini adalah golongan orang yang tidak peduli followers-nya terganggu karena ia mengunggah ribuan kali foto yang tidak estetis. Kadang kala fotonya foto bayi, blur dan tidak jelas sedang melakukan apa. Sehari 10 kali. Anak sedang tidur, anak sedang mandi, anak sedang makan, dengan caption anakku ganteng sekali. Yaiyalah anak sendiri, menurut ngana? Tidak suka? Kalau tidak suka ya unfollow saja lah. Gampang.

Dari kami
yang sedih karena sering tertekan secara visual di Instagram.

[mojok]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Untuk Mahasiswa

Tanda2 akhir jaman kali ya, ada mahasiswa protes pada sy gara2 sy kasih nilai C. Protes krna merasa selalu masuk, selalumengumpulkan tugas, dan ikut ujian. Bagi dosen, memberi nilai A atau B itu gampang, tapi nantinya akan jadi beban jika ternyata kemampuan mahasiswa nggak singkron antara nilai di atas kertas dg keilmuannya. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan nilai2 yg begitu bombastis dg keahlian saat memasuki dunia kerja. Ada teman sy yg suka memberi nilai A, semua mahasiswa yg ikut mata kuliahnya diberi nilai A. Dia menjelaskan ke mahasiswanya bahwa nilai A itu biar jadi beban moral setelah lulus nanti. Dengan nilai bagus, mahasiswa harus mengupgrade skillnya supaya sesuai dg nilai di atas kertas. Jadi, pemberian nilai A bagi teman sy bukan karena penghargaan, tapi sebagai pecutan bagi mahasiswa; nilaimu sebagus itu kamu bisa apa? Beda dosen beda kebijakan. Sy nggak bisa memberi nilai seragam, harus ada bedanya antara mahasiswa cerdas, kreatif, dan rajin, dengan ma...

Perbedaan Anak Kuliah Generasi Sekarang dan Generasi Sebelum Sekarang

Based on true story. Perbedaan kebanyakan generasi anak kuliahan jaman sekarang dengan kebanyakan generasi anak kuliahan jamanku : Situasi 1: Habis pengumuman nilai ujian Generasi sekarang (GS) : sibuk nelponin dosen utk protes. Klo perlu, minta tolong ke ortunya juga utk nelponin atau ndatengin dosen yg bersangkutan ke kampus krn udah ngasi nilai yg tidak memuaskan (padahal wis jelas, nilainya jelek krn si anak jarang masuk atau hasil tugasnya mmg gak bermutu). Generasiku (GQ) : menerima nilai dengan legowo krn menyadari kekurangan dan kelebihannya. Yg nilainya bagus, seneng. Yg nilainya jelek, nyengir jaran trus berjanji utk bisa lbh baik semester depan. Situasi 2 : Mau bikin janji dengan dosen utk asistensi GS : Hubungi via WA dengan bahasa komunikasi yg bikin dosen yg baca pingin mbanting HPnya. "Pak, Bapak dimana? Besok bisa ketemu nggak, Pak?" Dosen menjawab, "Saya bisa jam 1." "Lho klo jam 1 aku nggak bisa, Pak. Aku ada kuliah. Gini aja...

Tiga Hal yang Dicintai dari Dunia

 Oleh : Syaiful Waliyadin جلس رسول الله صلى الله عليه وسلم مع أصحابه رضي الله عنهم وسألهم مبتدئًا بأبي بكر الصديق: ماذا تحب من الدنيا؟ فقال أبو بكر رضي الله عنه: أحب من الدنيا ثلاثًا: الجلوس بين يديك، والنظر إليك، وإنفاق مالي عليك. وأنت يا عمر؟ قال عمر: أحب ثلاثًا: أمر بالمعروف ولو كان سرًّا، ونهي عن المنكر ولو كان جهرًا، وقول الحق ولو كان مرًّا. وأنت يا عثمان؟ قال عثمان: أحب ثلاثًا: إطعام الطعام، وإفشاء السلام، والصَّلاة بالليل والناس نيام. وأنت يا علي؟ قال علي: أحب ثلاثًا: إكرام الضيف، والصوم بالصيف، وضرب العدوِّ بالسيف، ثم سأل أبا ذر الغفاري: وأنت يا أبا ذر: ماذا تحب في الدنيا؟ قال أبو ذر: أحب في الدنيا ثلاثًا: الجوع، والمرض، والموت، فقال له ذاكرًا صلى الله عليه وسلم: ولم؟ فقال أبو ذر: أحبُّ الجوع؛ ليرقَّ قلبي، وأحب المرض؛ ليخف ذنبي، وأحب الموت؛ لألقى ربي، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: حُبِّب إلى من دنياكم ثلاث: الطِّيب، والنساء، وجُعلت قرة عيني في الصلاة، وحينئذ تنزل جبريل عليه السلام وأقرأهم السلام وقال: وأنا أحب من دنياكم ثلاثًا: تبليغ الرسالة؛ وأداء الأمانة؛ وحب المساكين؛ ث...