Persoalan lama Uighur terkait persekusi yang dilakukan oleh pemerintah China kembali mencuat. Berawal dari viralnya beberapa video keprihatinan yang digawangi oleh aktivis Uighur di AS, yang menceritakan bagaimana kondisi etnis Uighur di bawah bayang-bayang tangan besi rezim komunis China—yang berusaha merekonstruksi identitas ke-China-an etnis Uighur.
Memaksa secara sistemik etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya dengan Sinicization “Menjadi China”. Gayung bersambut, di beberapa negara terjadi demonstrasi mengutuki kekerasan fisik dan psikologisyang dilakukan oleh China terhadap etnis Uighur, tidak terkecuali di Indonesia.
Secara demografi, mayoritas etnik Uighur menempati wilayah Turkistan Timur atau yang kemudian China menyebutnya Xinjiang “Wilayah Baru”. Etnis Uighur memiliki akar budaya, bahasa dan agama yang berbeda dengan etnis Han (mayoritas etnis di China).
Uighur lebih dekat secara bahasa dengan etnis Turk (yang berbahasa Turkik, bukan hanya Turki, tapi juga yang tersebar di Asia Tengah), secara kultur dengan negara-negara tetangga seperti Tajikistan, Kazakistan dan Kirgiztan, serta secara agama merupakan mayoritas Muslim. Dari bentuk fisik wajahpun cukup berbeda dengan China kebanyakan. Di China, terdapat 56 etnik di mana mayoritas (>90%) adalah Han dan 55 etnis lainnya minoritas (<10%).
Turkistan Timur telah menjadi perebutan orang-orang China semenjak Dinasti Qing (1644-1911) dan era Republik (1911-1949). Kemudian menjadi bagian darirezim Komunis China semenjak 1949. Padahal kala itu, negara Turkistan Timur sudah pernah dideklarasikan setidaknya dua periode: 1933-1934 dan 1944-1949.
Namun umurnya tidak lama akibat perselisihan internal dan China memberikan status otonom menjadi Xinjiang Uyghur Autonomus Region (XUAR).Sampai kini, Xinjiang menjadi wilayah paling tak stabil di antara wilayah otonom etnis minoritas di China.
Kebijakan Pemerintah: Akar Konflik di Xinjiang
Permasalahan di Xinjiang cukup kompleks mengingat banyaknya faktor penyebab konflik. Namun, faktor-faktor paling utama seperti perbedaan budaya yang mencolok, ledakan populasi di China daratandan reformasi ekonomi rezim Komunis menghasilkan regulasi yang merugikan etnis Uighur. Setidaknya ada tiga regulasi pokok yang menjadi penyebab kekerasan di Xinjiang.
Pertama, kebijakan migrasi etnis Han ke wilayah Xinjiang. Migrasi ini terjadi semenjak reformasi ekonomi China menguat—yang kemudian menggeser dominasi ekonomi Uighur. Pemerintah menggalakkan program transmigrasi massal etnis Han seperti yang terjadi pada kurun 1959-1960, di mana 800.000 etnis Han bermigrasi ke Xinjiang. Sampai 1970, 3 juta Han pindah ke Xinjiang. Migrasi ini mengubah peta demografi, di mana pada 1949 hanya terdapat 5% populasi Han,kemudian berubah drastismenjadi lebih dari 40% pada 1978.
Modernisasi dan kampanye pembangunan infrastruktur, terutama dalam hal industri, memancing pemodal dan pemilik kemampuan lebih untuk datang ke kota-kota besar di Xinjiang. Inisiatif ini sering disebut Xibu da kaifa atau Open Up the West (Xinjiang berada di bagian barat dari China daratan).
Tidak hanya itu, etnis Han secara sistemik dibuat lebih memiliki peluang untuk sukses dibanding etnis Uighur—sebagai contoh petinggi birokrasi lebih dipilih dari etnis Han.Ini bahkan telah terjadi semenjak era Republik 1911-1949. Pertambangan dan ekspor hasil bumi di Xinjiang yang didominasi dan dikapitalisasi oleh etnis Han menimbulkan perasaan eksploitatifdan praktik kolonial yang dirasakan oleh etnis Uighur.
Kedua, pemaksaan identitas dan budaya Han terhadap non-Han atau “Sinicization”. Dalam kebijakan resmi sesuai konstitusi, memang China mengadopsi prinsip egaliter dan akomodasionis. Tapi, kebijakan yang tak tertulis justru nampakmengasimilasi minoritas Uighur dengan kultur Han yang dominan. Salah satu cara paling ampuh adalah dengan kebijakan bahasa resmi China(Putonghua).
Dengan membanjirnya migran Han dan meningkatnya populasi mereka di Xinjiang, mengancam secara langsung eksistensi bahasa lokal Uighur. Rezim komunis China, memaksa etnis Uighur—dan etnis minoritas lainnya—untuk mengadopsi budaya dan bahasa etnis Han jika ingin mendapatkan pengakuan.Pemaksaan ini juga termasuk perubahan sistemik penggunaan aksara Arab di hampir segala lini kehidupan, utamanya dalam literasi. Padahal bahasa Uighur adalah lingua franca di Xinjiang. Toko-toko tidak lagi menggunakan bahasa Uighur, tapi China.
Seperti jamak diketahui bahwa etnis Uighur memiliki bahasa dan budaya sendiri yang berbeda dengan Hui (China Muslim), termasuk soal aksara di mana mereka menggunakan huruf Arab. Sebab itu, Sinicization tidak bertolak belakang dengan kultur Hui sebab pada hakikatnya Hui juga bagian dari Han. Penyebutan Hui lebih karena diferensiasi berdasarkan agama, bukan etnik. Namun, berbeda dengan etnis Uighur. Meski sama-sama Muslim, budaya dan bahasa mereka berbeda dengan mayoritas Han.
Menurut laporan Amnesty International dan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB (CERD), China melakukan degradasi terhadap kebudayaan Uighur dan identitas keislaman mereka. China mengkriminalisasi aktivitas dan simbol keagamaan seperti pelarangan berpuasa di bulan Ramadan bagi PNS di wilayah Xinjiang, pelarangan jenggot dan jilbab, persekusi terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam aktivitas separatisme dan kekerasan psikologis seperti sekolah “reedukasi” di kamp-kamp khusus.
Etnis Uighur dipaksa berbahasa China, menerima ideologi negara, loyal terhadap simbol-simbol komunisme. Sekali lagi, dalam kamp ini, China menjalankan kebijakan monokultural dan Sinicization.
Semenjak Pemberontakan Baren pada April 1990, China makin memperketat publikasibuku, novel, radio, koran, puisi, music Uighur. Sensor terhadap jurnal dan publikasi akademik pun menjadi-jadi. Semua yang berkaitan dengan Uighur, terutama dalam konteks publikasi politik, sejarah dan budaya tidak luput dari pembredelan.
Produksi kebudayaan Uighur dilimitasidan kebebasan berekspresi etnis Uighur dibungkam. Kebijakan Sinicizationini menciptakan sentimen anti-Han di kalangan etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya. Kebijakan monokultural yang banyak akademisi mengatakan: penyebab utama konflik kultural.
Ketiga, represi terhadap etnis Uighur. Demontrasi mahasiswa besar-besaran terjadi pada 1989-1989 dan konflik kekerasan memuncak dalam peristiwa Pemberontakan Baren. Protes-protes ini merupakan akumulasi dari pelbagai masalah seperti kontrol keluarga (China meluaskan ‘kebijakan satu anak’ ke etnis non-Han pada 1988), tes nuklir di Xinjiang pada 1987, eksploitasi minyak, dan diskriminasi terhadap etnis Uighur.
Di tahun-tahun berikutnya, demontrasi ini tidak lagi menuntut keadilan bagi etnis Uighur, tapi seruan menumbangkan komunisme dan separatisme. Semenjak itu, makin banyak protes dilaksanakan etnis Uighur menolak kolonialisme oleh etnis Han. Pada Februari 1997, di Ghulja, ribuan Uighur turun ke jalan untuk aksi damai memprotes represi agama dan diskriminasi etnis.
Tapi protes ini berakhir rusuh dengan Sembilan orang tewas (sumber ofisial pemerintah) dan ribuan orang ditahan. Pada Juli 2009, terjadi kerusuhan di Urumqi antara etnis Uighur dengan Han, yang menewaskan tidak kurang dari 184 nyawa.
Represi ini tidak hanya menyasar aktivitas politik, tapi juga aktivitas agama. Semenjak Pemberontakan Baron, rezim komunis China menutup banyak masjid dan madrasah, melarang ribuan imam dan menyeleksi mereka, juga melarang aktivitas keagamaan.
Untuk mengurangi aktivitas reliji di ranah publik, China mengeluarkan kebijakan bahwa agama adalah soal personal atau sishi. Momen 9/11 menjadi alibi China untuk makin mengetatkan keamanan di Xinjiang, yang tentu saja menyasar secara sporadis etnis Uighur yang dituduh sebagai ekstrimis.
Agustus 2018, PBB mengeluarkan laporan yang menyatakan China menahan hingga sejuta etnis Uighur (5-10% populasi etnis Uighur dewasa) dalam “kamp reedukasi”. Penahanan massal ini tanpa pengadilan dan melanggar HAM. Di samping itu, siksaan, penculikan paksa, pembatasan kebebasan bereskpresi, ekstradisi, pemantauan ketat, menjadi topik kecaman terhadap China.
Meski sebenarnya wilayah ini sudah diberikan status otonom, nampaknya China tidak serius merealisasikan status tersebut. Alhasil, keterlibatan China yang menegasikan status otonom ini adalah saham konflik yang berkepanjangan.China gagalmenyerahkan status otonomi di Xinjiang, baik dari sisi politik, ekonomi, budaya dan hal-hal yang terkait penyelenggaraan pemerintahan.
Hasilnya adalah disparitas ekonomi antara etnis Uighur dan Han begitu terlihat. Umumnya, etnis Uighur hidup lebih miskin, tak terdidik, berpeluang kecil bekerja di pemerintahan. Meski sebenarnya gebrakan ekonomi mendongkrak kualitas hidup di Xinjiang, namun tidak untuk etnis Uighur.Tidak mengherankan jika isu utama yang terjadi di Turkistan Timur ini adalah self-determination—dan ini bukanlah hal yang baru.
Sikap Dunia dan Indonesia
Sampai saat ini, nyaris tidak ada negara atau organ internasional yang menyerukan mediasi atau intervensi terhadap kasus Uighur, termasuk Indonesia yang menyatakan kasus Uighur adalah urusan domestik China. Banyak dari negara-negara lain, termasuk negara-negara Muslim, yang memiliki kerja samadan hutang dengan China. Sehingga China bertindak rasional untuk meredam negara-negara tersebut—khususnya negara-negara Muslim, sebab Uighur bukanlah satu-satunya wacana self-determination di China.
Tapi juga ada Taiwan dan Tibet. Bukan tidak mungkin jika satu di antara mereka lepas, yang lain juga akan melepaskan diri. Meski dalam kasus Taiwan, lebih jelas lagi karena terkait One China Policy (Kebijakan Satu China). Strategi geo-ekonomi ini dampaknya berhasil dan mampu membuat negara lain untuk berpikir tidak merusak hubungan dengan China.
Indonesia memiliki setidaknya tiga landasan mengapa isu Uighur perlu dicermati. Pertama, landasan Pembukaan UUD’45 dan Pancasila. Bahwa, untuk “..ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Seperti pernyataan Wapres Jusuf Kalla, bahwa Indonesia menolak penindasan terhadap HAM.
Tentu setidaknya pernyataan tersebut adalah bukti Indonesia berdiri bersama mereka yang tertindas. Kedua, landasan keagamaan di mana mayoritas penduduknya Muslim dan sangat sensitif mengenai isu keumatan. Demonstrasi damai yang diadakan umat Islam di Indonesia mendorong pemerintah aktif menyuarakan keadilan bagi Muslim Uighur.
Ketiga, landasan politik luar negeri yang dianut, yaitu “bebas-aktif”. Indonesia dapat mendorong upaya damai dalampenyelesaian kasus Uighur menggunakan pendekatan dialogis. Sebagaimana telah dicontohkan dalam kasus separatisme di Aceh dan Papua. Tapi tetap pada koridor non-intervensi negara lain.
Namun perlu dipahami, bahwa isu Uighur adalah isu politik yang membutuhkan penyelesaian secara diplomatis—bukan isu kemanusiaan. Berbeda dengan kasus Rohingya yang mengalami kekerasan horisontal dan vertikal, kasus Uighur didominasi oleh negara yang menerapkan kebijakan tertentu serta dianggap merugikan etnis Uighur. Oleh sebab itu, bantuan dalam bentuk donasi amatlah tidak perlu. Umat Islam di Indonesia harus bisa membedakan mana isu politik dan mana isu kemanusiaan.
Lalu Bagaimana CaranyaPeduli Terhadap Isu Ini?
Pertama, pelajari tentang mereka; sejarah, demografi, latar belakang konflik, mengapa Uighur bagian dari China, kaitan dengan etnisitas dan komunisme, hak-hak dasar yang dilanggar, serta kondisi terakhir di sana.
Buku Joanne Smith Finley, The Art of Symbolic Resistance: Uyghur Identities and Uyghur-Han Relations in Contemporary Xinjiang (cetakan Brill, 2013) cukup komplit dan berimbang membahas mengenai isu ini. Pelajari dari sumber-sumber akademik yang memiliki referensi dan bukti ilmiah, bukan dari artikel-artikel lepas yang tendensius—apalagi sekadar propaganda politik. Pelajari dari media yang kredibel dalam menurunkan artikel.
Kedua, adil dalam melihat situasi. Kasus Uighur bukanlah kasus agama. Tapi agama menjadi dampak dari kebijakan diskriminatif yang dialami oleh etnis Uighur yang mayoritas muslim. Hui yang Muslim tidak mengalami represi langsung seperti Uighur, sebab secara kultur, bahasa, dan sosial identik dengan Han.
Hal yang serupa juga dialami oleh minoritas lain seperti etnis Tibet dan etnis Mongol. Meski rezim komunis China mayoritas etnis Han, bukan berarti bisa disimplifikasi ini kasus etnis Han versus etnis-etnis minoritas. Keadilan dalam melihat situasi ini akan berdampak pada solusi yang diberikan.
Ketiga, bantu dengan menyebarkan ke publik mengenai diskriminasi, persekusi, dan segala kezaliman yang etnis Uighuralami. Tapi jangan menyebarkan hoaks atau berita palsu. Janganlah kecepatan jempol netizen lebih cepat dibandingkan kecepatan membaca.
Berita palsu yang diiringi glorifikasi terhadap narasi heroik agama, hanya akan memunculkan radikalisme atau kebencian terhadap kelompok lain. Justru ini semakin memberikan pembenaran bagi rezim komunis China, sama halnya ketika persekusi terhadap Uighur meningkat pasca 9/11.
Keempat, membentuk atau mendorong pressure group melakukan langkah-langkah diplomatis ke level yang lebih tinggi: level pemerintah. Isu Uighur adalah isu politik tingkat negara yang sudah pasti membutuhkan kekuatan diplomasi dalam penyelesaiannya.
Lihat bagaimana Dubes China untuk Indonesia melakukan roadshow ke organisasi massa Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama menepis isu yang dituduhkan kepada mereka.
Sebab mereka paham bahwa ormas ini memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Muhammadiyah dan NU—dan juga ormas-ormas lainnya—adalah pressure group yang bisa menentukan pandangan pemerintah Indonesia terhadap China. Muhammadiyah, misalnya, tidak lama setelah isu Uighur terekskalasi di Indonesia, segera merilis pernyataan sikap. Sebagai individu pun juga bisa melakukan hal yang serupa.
Kelima, pahami bahwa kasus ini adalah masalah politik dan kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Uighur—juga minoritas lain. Bukan kasus kemanusiaan yang membutuhkan bantuan dana. Berbeda dengan kasus Suriah, Yaman, Rohingya atau Palestina, di mana jutaan manusia mengungsi dan membutuhkan uluran tangan. Uighur membutuhkan bantuan, tapi dalam bentuk yang berbeda. Akan sulit ditemukan kamp pengungsian, baik di dalam ataupun di luar Xinjiang.
Sebab mereka bukanlah pengungsi, tapi pencari suaka politik. Etnis Uighur yang tinggal di Turki, Kirgiztan, Kazakhstan, Tajikistan, atau di sekitar negara Asia Tengah telah bermigrasi puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Migrasi besar-besaran pernah tercatat pada 1960, di mana lebih dari 60.000 etnis Uighur dan Qazaq keluar dari Xinjiang menuju negara-negara Asia Tengah (dulu masih Uni Soviet). Para migran atau pencari suaka ini butuh bantuan politis untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Semoga solusi jangka panjang segera tercipta di tanah subur Turkistan Timur a.k.a Xinjiang. Dan keadilan terhadap kemanusiaan menjadi kunci bagi perdamaian dunia yang abadi.
Sumber: Republika.com
Komentar
Posting Komentar